Ayah yang selalu membopong jala disetiap tengah malam. Laut itu begitu bening sehingga bebek buruk rupa jika berkaca diatasnya pun akan terlihat cantik bak angsa berbulu putih.Ĭerita bahagiaku, tentang ayah. Sebuah drama pendek tentang keluarga mungil yang tinggal dipinggiran laut. Tertata rapih di atas peningnya kepalaku, sebuah plot kecil yang membuat bibirku tersenyum dalam kepahitan. Yah, tersimpan indahnya masa kecil yang begitu bahagia. Berpuluh-puluh kilometer jauhnya, di kota seberang laut. Ternyata, sama pahitnya dengan kehidupanku. Kudalami kopi panas dalam cangkir yang pahit itu, aku berfikir. Mataku sedikit menciut menahan getirnya kopi itu. Lalu, kubuka beberapa bungkus gula dan kucampur kedalam kopi hitam panas tadi. Kuseduh secangkir kopi pahit untuk lebih menyelami kelamnya hariku dulu, kuaduk beberapa kali. Tetapi, masih belum bisa kulupakan sejuta kenangan pahit yang telah digoreskan di dalam laranya hatiku. Kopi hitam yang akan selalu diaduk sehingga membuat kehidupan ini selalu berputar dinamis.īaru sebulan, aku tinggal di rumah tua berdinding batu bata merah yang lapuk ini. Hidup dapat pula sepahit kopi hitam yang akan semakin pahit bila menyentuh pangkal lidah kehidupan kita. Kadang hidup ini, tak semanis gula dan madu. Penyesalan datang pada saat cerita itu berakhir. Penyesalan memang tak akan datang pada prolog suatu plot kehidupan. Merayu pada susu ibunya yang terlalu sibuk menyusui bapak bayi tetangga Semerah darah yang mengucur di kepala suaminya setelah linggis menghantamnya.īayi itu masih menangis. Meninggal seketika setelah tahu kelamin Miranti basah. Salah satu tamu yang kebocoran.Īlasan ekonomi kata Miranti. Miranti segera menuju minimarket yang buka seharian. Setelahnya, beberapa lembar rupiah berganti genggaman. Minta disusui.”īasa-basi tak pernah lebih lama dari pariwara di sela drama televisi. Ramah pada setiap tamu yang datang dalam petaknya. Tak pernah mengenakan pakaian rapat-rapat. Miranti tak pernah menutup pintu rapat-rapat. Gusar suaminya sering menghilang tengah malam. Ia tak pernah bertahan lebih dari tiga bulan dalam satu petak kontrakan. Dari satu petak kontrakan ke petak lain kontrakan. Marahīeberapa tetangga memanggilnya Mbak Mir.
0 kommentar(er)
